Penyimpan khabar zaman yang lalu menambah lagi
Pada umurnya umur berulang berkali-ganda
(Prof Dr. Syed Muhammad Naquib al Attas)
Begitulah Prof Alatas memulai karyanya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Monografnya ini, meski tidak tebal, adalah salah
satu karya yang serius dalam membongkar perjalanan sejarah Islam di
Indonesia-Melayu. Alatas ‘membongkar-bongkar’ perpustakaan-perpustakaan
antara lain perpustakaan di Leiden, Oxford, Jakarta dan Kuala Lumpus sebelum menuliskannya.
Buku
ini adalah karya tulis yang dipersembahkannya kepada para intelektual
bertepatan dengan pelantikannya sebagai guru besar (Profesor) Sastra
Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia pada 24 Januari 1973. Di sini
Alatas menguliti dengan tajam dan ilmiah rekayasa orientalis –khususnya
sejarawan-sejawaran Belanda seperti Van Leur dan Snouck Hugronje —dalam
menjungkirbalikkan perjalanan sejarah Islam Indonesia-Melayu.
Al-Attas yang kini berusia 79 tahun, menulis: “Keputusan
akhir Van Leur laksana hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Islam
ialah bahwa Islam itu tiada membawa apa-apa, perubahan asasi dan tiada
pula membawa suatu tamaddun yang lebih luhur daripada apa yang sudah
sedia ada. Bawaan pemikiran sarjana-sarjana Belanda dari
dahulu memang sudah mengisaratkan kecenderungan ke arah
memperkecil-kecilkan Islam dan peranannya dalam sejarah Kepulauan ini
dan sudahpun nyata, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hugronje pada
akhir abad yang lalu”
Apa yang dibawa Islam di tanah Melayu ini? Al Attas dengan cermat menguraikan: “… kedatangan
Islam di Kepulauan Melayu Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan
zaman baru dalam persejarahannya, sebagai semboyan tegas membawa
rasionalisma dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistim
masharakat yang berdasarkan orang perseorangan, keadilan dan kemuliaan
kepribadian insan.”
Jadi
Islam membawa peradaban yang tinggi, intelektualisme dan ketinggian budi
insan di tanah Melayu. Prof al-Attas juga menunjukkan bukti bahwa dari
tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra, tulisan, falsafah,
budaya buku dan lain-lain, yang tidak dibawa peradaban sebelumnya. Islam
memang tidak meninggalkan kebudayaan patung/candi sebagaimana
kebudayaan pra Islam, tetapi Islam mengembangkan budaya ilmu.
Kembali mengutip al-Attas: “Salah
satu kejadian baru yang terpenting mengenai kebudayaan, yang dengan
secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam adalah
penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan sahaja dalam
kesusasteraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting– dalam
pembicaraan falsafah. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa kesusasteraan falsafah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia
menambah serta meninggikan perbendaharaan katanya dan istilah-istilah
khususnya dan merupakan salah satu faktor terutama yang menjunjungnya ke
peringkat bahasa sastera yang bersifat rasional, yang akhirnya berdaya
serta sanggup menggulingkan kedaulatan bahasa Jawa sebagai bahasa
sastera Melayu-Indonesia.”
***
Syed
Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas, dilahirkan di
Bogor, 5 September 1931. Sejak kecil memperoleh pendidikan Islam dari
orangtuanya. Ia memulai pendidikan formalnya sekolah dasar di Johor, Malaysia. Karena
adanya pendudukan Jepang di Semenanjung, ia kemudian pindah belajar ke
Madrasah al Urwatul Wutsqa, Sukabumi Jawa Barat (1941-1945). Tahun 1946, ia kembali belajar di Johor di Bukit Zahrah School dan English College (1946-1951).
Al Attas menempuh sarjana mudanya di Universiti Malaya. Saat masih kuliah ia berhasil membuat buku Rangkaian Riba’iyat, yang dipublikasikan pertama kali oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1959. Karya klasiknya yang kedua adalah Some Aspects of Sufism as Understood and Practical among the Malays. Ia
kemudian melanjutkan studinya di McGill University. Berbeda dengan
sejumlah alumni McGill yang mengikuti jejak orientalis, al Attas
berhasil memahami pemikiran orientalis dan kemudian mengkritisinya
dengan tajam dan akurat. Ia menyelesaikan masternya tahun 1962 dengan
tesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Setahun kemudian al Attas melanjutkan program doktoralnya di School of Oriental and African Studies, University of London. Di sana ia berinteraksi dengan Profesor A.J. Arberry dan Dr. Martin Lings. Ia menyelesaikan program doktoralnya (1965) dengan karyanya yang monumental dan klasik berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Prof al Attas telah menulis karya lebih dari 29 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu. Banyak
buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu:
Arab, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia, Albania, Persia, Perancis,
Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea dan Albania.
Tahun 1991 Prof al Attas merancang berdirinya ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization),
satu model universitas Islam ideal di dunia Islam. Al-Attas adalah
salah satu ilmuwan Muslim yang diakui reputasinya di dunia
internasional. Ia dikenal sangat kritis terhadap sekularisme. Bukunya, Islam and Secularism telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.
Tahun 2002. The Cranlana Program Australia menerbitkan dua volume buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002). Buku
ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah umat
manusia. Dalam buku ini, al-Attas merupakan satu-satunya ilmuwan Muslim
yang diakui memiliki gagasan genuine dalam kajian kritisnya
terhadap Barat. Gagasan al-Attas yang diambil adalah pemikirannya yang
tertuang dalam sebuah tulisan berjudul “The Dewesternization of Knowledge”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar