Bermaksud menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah (Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.
Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total.
Bagi al-Ghazali, pemikiran para filosof ada juga yang tidak
bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al-kusuful qamariy),
yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di
antara bulan dan matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat
gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang bumi, maka sinar matahari
tidak dapat diserap oleh bulan.
Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams),
tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari.
Al-Ghazali menegaskan, jika pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini
ditolak dengan alasan agama, justru akan melemahkan ajaran Islam.
Jadi,
bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya.
Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika,
matematika, geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa
diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan
unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian
dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak.
Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.
Tahafutul Falasifah Dalam karyanya, Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Tahafutul Falasifahalamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak. memuat 20 persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu: pemikiran para filosof bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk
Tahafutul Falasifah Dalam karyanya, Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Tahafutul Falasifahalamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak. memuat 20 persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu: pemikiran para filosof bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk
Dari kedua puluh persoalan filosofis, persoalan keazalian alam menyedot sekitar seperlima dari keseluruhan isi buku Tahafutul Falasifah.
Bagaimana Tuhan menciptakan alam? Para filosof (tidak termasuk Plato)
beranggapan bahwa alam tidak bermula. Alam ada sejak Tuhan ada. Tuhan
ada maka alam ada. Jika Tuhan ada, dan alam tidak ada, maka ketiadaan
hadir sebelum adanya alam.
Namun, bagi para filosof, kondisi
seperti itu, mustahil bagi akal. Sebabnya, jika alam dari tiada kemudian
berubah menjadi ada, maka pasti ada faktor (murajjih) yang
menyebabkan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Para filosof
menyatakan tidak mungkin jika perubahan tersebut disebabkan oleh Tuhan.
Sebab jika perubahan itu terjadi (dari tiada menjadi ada), akan timbul
persoalan. Mengapa Tuhan menciptakan alam itu pada saat itu, kenapa
tidak sebelumnya?
Bagi para filosof, tidak mungkin untuk
mengatakan Tuhan “dulu Dia tidak berkehendak saat alam belum diciptakan”
dan “saat alam diciptakan Dia baru berkehendak”. Hal ini, kata mereka,
tidak mungkin terjadi, karena perubahan tidak terjadi pada diri Zat
yang Maha Suci.
Agamawan pun mengakui tidak ada perubahan pada
diri Zat yang Maha Suci. Oleh sebab itu, tidak bisa tidak, alias sebuah
keharusan, alam itu tidak bermula di dalam waktu. Alam ada sejak Allah
ada. Namun, para filosof seperti Ibnu Sina mengingatkan, tetap ada
perbedaan yang jelas antara eksistensi Allah dan eksistensi alam. Allah
“lebih dulu” ada dibanding alam. Namun, makna “lebih dulu” bukan dalam
katagori waktu. Tapi, dalam katagori esensi (biz-zat), seperti
sebab “lebih dulu” dari akibat, ataupun angka satu “lebih dulu” dari
angka dua, atau seperti matahari “lebih dulu” dari sinarnya. Tentu,
perumpamaan ini tidak bisa diaplikasikan sepenuhnya kepada Zat yang Maha
Suci karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Namun, seperti itulah
kira-kira makna “lebih dulu,” demikian menurut Ibnu Sina.
Bertentangan
dengan pemikiran Ibnu Sina, al-Ghazali, berpendapat tidak ada keharusan
logika untuk menyimpulkan alam tidak bermula. Bagi al-Ghazali, tidak
mustahil bagi akal untuk berfikir bahwa Tuhan ada dan tidak ada apa pun
bersama-Nya. Tuhan mencipta alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan
sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.
Jika
para filosof mengajukan pertanyaan: Mengapa Tuhan menciptakan alam dari
sebelumnya tiada kemudian menjadi ada? Apa kira-kira faktor yang
mendorong, kehendak Sang Pencipta yang dari sebelumnya tidak mencipta
kemudian ingin mencipta? Al-Ghazali menjawab: di sinilah inti
persoalannya. Kehendak Tuhan tidak bisa dianalogikan dengan kehendak
manusia, dari tidak mau (mencipta alam) berubah menjadi mau (mencipta
alam).
Kehendak Tuhan tidak mengalami perubahan. Sebabnya, makna kehendak adalah pilihan, bukan perubahan. Tuhan memilih mencipta “saat itu,” dan bukan “sebelum saat itu.” Tuhan Berkehendak mencipta pada “saat itu,” bukan sebelumnya. Jika kira-kira para filosof bertanya: Mengapa Tuhan Berkehendak “saat itu,” bukan sebelumnya? Al-Ghazali menjawab, tidak ada perubahan pada Kehendak Tuhan. Sebabnya, makna Kehendak (Iradah) bukan dari tidak mau menjadi mau. Makna “Kehendak” adalah memilih. Tuhan memilih “saat itu.” Pilihan tersebut tidak mengandung makna perubahan pada Kehendak-Nya. Inilah makna Kehendak, ungkap Imam al-Ghazali.
Tahafutut Tahafut Sekitar sembilan puluh tahun kemudian -- sejak Imam al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah -- Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut (Inkoherensinya Inkoherensi) sekitar tahun 1185. Ibnu Rusyd, Sang Komentator Aristoteles, mengkritik al-Ghazali paragraf demi paragraf. Ibnu Rusyd bukan saja menolak pemikiran al-Ghazali. Tapi ia juga menolak pemikiran para filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina karena mereka telah menyimpang dari pemikiran Aristoteles. Namun, tetap kritikan utama Tahafutut Tahafut diajukan kepada al-Ghazali.
Kehendak Tuhan tidak mengalami perubahan. Sebabnya, makna kehendak adalah pilihan, bukan perubahan. Tuhan memilih mencipta “saat itu,” dan bukan “sebelum saat itu.” Tuhan Berkehendak mencipta pada “saat itu,” bukan sebelumnya. Jika kira-kira para filosof bertanya: Mengapa Tuhan Berkehendak “saat itu,” bukan sebelumnya? Al-Ghazali menjawab, tidak ada perubahan pada Kehendak Tuhan. Sebabnya, makna Kehendak (Iradah) bukan dari tidak mau menjadi mau. Makna “Kehendak” adalah memilih. Tuhan memilih “saat itu.” Pilihan tersebut tidak mengandung makna perubahan pada Kehendak-Nya. Inilah makna Kehendak, ungkap Imam al-Ghazali.
Tahafutut Tahafut Sekitar sembilan puluh tahun kemudian -- sejak Imam al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah -- Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut (Inkoherensinya Inkoherensi) sekitar tahun 1185. Ibnu Rusyd, Sang Komentator Aristoteles, mengkritik al-Ghazali paragraf demi paragraf. Ibnu Rusyd bukan saja menolak pemikiran al-Ghazali. Tapi ia juga menolak pemikiran para filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina karena mereka telah menyimpang dari pemikiran Aristoteles. Namun, tetap kritikan utama Tahafutut Tahafut diajukan kepada al-Ghazali.
Bagi Ibnu Rusyd, al-Ghazali telah
keliru, karena berpendapat Kehendak Tuhan tetap tidak berubah dengan
penciptaan alam. Menurut Ibnu Rusyd, penciptaan alam dari tiada (ex nihilo)
menjadi ada, mengindikasikan perubahan pada Tuhan. Padahal, menurut
Ibnu Rusyd, Tuhan tidak berubah. Kehendak Tuhan yang abadi tidak
mengalami perubahan. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd berpendapat alam itu
tidak bermula. Jika alam bermula, maka akan ada perubahan pada-Nya.
Jadi, Ibnu Rusyd menyimpulkan alam adalah azali (qadim). Alam tidak bermula dalam waktu. Alam adalah akibat yang harus dari eksistensi Tuhan. Selain itu, bagi Ibnu Rusyd, penciptaan ex nihilo
(dari ketiadaan) tidak memiliki dasar pijakan dalam al-Qur’an. Jadi,
menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kekufuran terhadap para filosof tidak
memiliki basis agama.
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Setelah meneliti secara mendalam, Marmura dalam disertasinya yang berjudul The Conflict Over The World’s Pre-Eternity in The Tahafuts of al-Ghazali and Ibn Rushd, menyimpulkan bahwa konflik antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Setelah meneliti secara mendalam, Marmura dalam disertasinya yang berjudul The Conflict Over The World’s Pre-Eternity in The Tahafuts of al-Ghazali and Ibn Rushd, menyimpulkan bahwa konflik antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.
Konsep
Tuhan seperti ini bertentangan dengan konsep Tuhan yang ada dalam
al-Qur’an. Konsep Tuhan Aristoteles berangkat dari konsep Tuhan yang
harus mencipta alam. Tuhan --tidak bisa tidak -- harus mencipta alam.
Jadi, Tuhan berbuat dengan keharusan. Bukan itu saja, Perbuatan-Nya pun
selanjutnya ditentukan dengan benda-benda diluar diri-Nya. Dia tidak
bertindak secara langsung ke dalam alam ciptaan-Nya. Namun tindakan-Nya
melalui serial sebab-sebab esensial yang berlaku sebagai perantara.
Premis-premis seperti ini yang mendorong Aristoteles untuk merumuskan
alam ini tidak berpemulaan. Pemikiran metafisis ini yang mempngaruhi
pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Sementara bagi
al-Ghazali dan tentunya mayoritas kaum Muslimin, konsep Tuhan dalam
al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak
berbuat dengan keharusan. Tidak ada diluar Diri-Nya yang menentukan
perbuatan-Nya. Alam sepenuhnya tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam
secara total setiap saat bergantung kepada perbuatan-Nya secara
langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat secara langsung berada
dalam genggaman-Nya. Dialah yang menyebabkan segala perubahan dan
pergerakan. Tidak ada keharusan keterkaitan sebab-akibat di alam ini.
Salah-Paham Kritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya, menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-Ghazali… dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban Islam menjadi buram… Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy).
Salah-Paham Kritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya, menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-Ghazali… dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban Islam menjadi buram… Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy).
Para Orientalis
juga menyuarakan nada yang sama. George Sarton, misalnya, menyatakan
pandangan al-Ash’ari dan al-Ghazali merupakan penghambat kemajuan ilmu
pengetahuan pada abad pertengahan (George Sarton: Introduction to the History of Science).
Sebenarnya,
tuduhan kepada Imam al-Ghazali terlalu berlebihan. Menurut al-Ghazali,
mempelajari sains adalah fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali
telah mengingatkan dalam Tahafutul Falasifah, supaya mengkaji sains, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Waktu
telah membuktikan pengaruh al-Ghazali kepada umat lebih besar dibanding
pengaruh Ibnu Rusyd. Mayoritas umat Islam baik dalam khilafah
Utsmaniyah yang berkuasa sekitar 700 tahun, dinasti Mughal di
India-Pakistan selama 300 tahun, termasuk di alam Melayu, lebih banyak
yang mengikuti pemikiran imam al-Ghazali dibanding Ibnu Rusyd.
Setelah
wafatnya al-Ghazali (w. 1111), sains tetap berkembang sampai abad
ke-16. Observatorium Maragha misalnya dibangun tahun 1259 hingga tahun
1304. Di Samarqand, Observatorium juga dibangun tahun 1420.
Observatorium Istanbul dibangun pada tahun 1577. Tentunya, berbagai
Observatorium itu bisa dibangun dengan melibatkan berbagai pakar dalam
bidang astronomi, matematika dan teknologi. Bahkan kritik terhadap paham
Geosentris telah dilakukan para ahli astronomi Muslim di Observatorium
Maragha dan Samarqand, jauh sebelum Copernicus.
Kemunduran sains
dalam peradaban Islam lebih ditentukan beragam faktor. Sains memerlukan
dukungan penguasa, stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, dan
lingkungan yang kondusif. Pascawafatnya al-Ghazali, suasana kondusif
tidak selalu hadir di wilayah kekuasaan Islam. Perang salib yang
berkecamuk sekitar 200 tahun sangat menguras energi umat. Cengkraman
bangsa Mongol yang merebut Baghdad, Samarqand, Bukhara dan Khawarism
serta membantai penduduk kota-kota tersebut dan membumihanguskan
infrastrukturnya sangat melemahkan kondisi umat. Munculnya kekuatan
Barat dan bermulanya kolonialisasi atas berbagai wilayah Muslim semakin
melemahkan kekuatan umat Islam. Sebab-sebab ini memiliki pengaruh yang
besar atas kemunduran sains umat Islam.
Penting dicatat
pengamatan Etienne Gilson, seorang filosof Kristen. Menurutnya, pengaruh
Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan
agamanya. Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains
dan teknologi dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal
berada di atas Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu
adalah sumber epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena
filsafat -- ketika itu -- telah menggeser wahyu sebagai sumber
epistemologi yang utama. Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada
tempatnya. Wallahu a’lam.
Share
Bravo!!!
BalasHapusArtikel Yang Bebas,
kayaknya Mau Jadi al Ghazali 2013 nuh...